Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan;
- Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
- Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu dan lain sebagainya.
- Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut:
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta, yakni pernikahan tanpa wali;
sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali.
Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari
sahabat Abu Musa radliyallahu ‘anhu; bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
لا نكاح إلا بولي
"Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali." [HR yang lima kecuali Imam an-Nasaaiy (Lihat, Imam asy-Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648)].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata "laa" pada hadis menunjukkan pengertian tidak sah,
bukan sekedar 'tidak sempurna' sebagaimana pendapat sebagian ahli
fiqih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang
diriwayatkan oleh 'Aisyah radliyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
"Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka
pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil." [HR yang
lima kecuali Imam an-Nasaaiy (Lihat, Imam asy-Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649)].
Abu Hurayrah radliyallahu ‘anhu juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
"Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita
juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya
wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya
sendiri." [HR Ibn Majah dan ad-Daruquthniy (Lihat, Imam asy-Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)].
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum
menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam
pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali
dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan
yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara
berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan
pernikahan di lembaga pencatatan negara.
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan
syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak
kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu
perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia
dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang
haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah
dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan
yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh
syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang
tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga
berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang
qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang
meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan
mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;
- Meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya.
- Mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan lain sebagainya.
- Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak
dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai
tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi
di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi
rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua
orang saksi dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka
pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak
dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah)
untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan
dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti
syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi
yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di
hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan
pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris,
hak asuh anak, perceraian, nafkah dan lain sebagainya. Hanya saja,
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat
bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang
yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara
sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa
satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang
adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan
alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi,
sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya.
Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang
menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan
hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian
dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus
diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian
mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewaris, nasab dan
hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem
pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita
jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang
melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi
negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan
pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa
dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan
keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat
sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu
memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan
tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya
dokumen tertulis.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri melakukan
pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan
pencatatan atas pernikahan Beliau, atau Beliau mewajibkan para shahabat
untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis
(mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran,
misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah
dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika
mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka
tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." [QS al-Baqarah].
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang
benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang
melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini
seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk
menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat
yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh
syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan
lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur
urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan
oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib
ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar
ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh
dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat.
Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan
jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam
di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar
ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan
denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran,
timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli
dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang
melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki
kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe,
hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya;
dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan
tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh
saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur
urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang
menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi
negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan
dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi
bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan
negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan
tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat
hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang
yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang
ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi
mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad
bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah
menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru
berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah
membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang
menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad
dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki
kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi
jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem
kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak
diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena
faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh
mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.
Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan
ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar
batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan
orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis
kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
"Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing." [HR Imam Bukhari dan Muslim].
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan, di antaranya adalah;
- Untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat.
- Memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai.
- Memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak
disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya
fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan
muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan
tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika
dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki
dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia
harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya
akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk
mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan,
demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat
serta untuk mencegah adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi
positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga
membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah
masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang
aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy
sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali.
Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah
adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya
sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada
pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika
terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah
satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan
menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy
benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat
untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami
isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah
bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama,
sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut
kembali hubungan suami istri padahal mereka sudah bercerai–, maka
mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan
berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan
sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka
masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena
itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan
pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga
berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat agar masyarakat
semakin memahami hukum syariat dan mengawasi dengan ketat penggunaan
dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah
tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang
tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri
yang telah bercerai menjadi jelas.
Wallahu a'lam bi al-shawab.
(Syamsuddin Ramadhan an-Nawiy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar